Bendera One Piece dan Negara yang Terlalu Mudah Tersinggung
8/10/20252 min read


Beberapa pekan terakhir, linimasa kita diramaikan oleh foto dan video pengibaran bendera bergambar tengkorak bertopi jerami, ikon fiksi dari serial One Piece. Sebagian orang tersenyum melihat kreativitas itu, sebagian lagi bereaksi keras, menyebutnya “tidak menghormati simbol negara” dan mendesak pemerintah untuk melarang.
Pemerintah melalui sejumlah pejabat telah memberi peringatan. Dalihnya, pengibaran bendera fiksi bisa dianggap mengaburkan makna Merah Putih, apalagi jika dilakukan menjelang Hari Kemerdekaan. Sejumlah pihak bahkan mendorong penggunaan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara untuk menertibkan.
Tetapi di sinilah kita perlu menahan napas dan menimbang: benarkah tindakan itu melanggar hukum? Atau jangan-jangan kita sedang berlebihan mengawasi ekspresi publik?
Kacamata Hukum: Antara Larangan dan Celah Legalitas
Pasal 24 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 memang melarang menempatkan bendera negara di bawah simbol lain. Namun, pengibaran bendera One Piece secara mandiri, tidak berdampingan, dan tidak menurunkan derajat Merah Putih, tidak memiliki larangan eksplisit dalam undang-undang.
Dalam hukum pidana, asas legalitas adalah pagar utama: nullum crimen sine lege, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa aturan yang jelas. Selama pengibaran bendera fiksi tidak dilakukan dalam konteks upacara resmi atau tidak dimaksudkan untuk merendahkan kehormatan bendera negara, sulit mengkategorikannya sebagai pelanggaran hukum.
Pandangan ini ditegaskan sejumlah akademisi hukum pidana.
Muhammad Fatahillah Akbar (Universitas Gadjah Mada) menyebut pengibaran bendera bajak laut adalah bagian dari kebebasan berekspresi, setara dengan mengibarkan bendera partai politik, klub sepak bola, atau grup musik. UU No. 24 Tahun 2009, menurutnya, hanya melarang perusakan dan pelecehan terhadap Merah Putih, bukan bendera lain. Pemidanaan justru akan melanggar hak konstitusional warga.
Orin Gusta Andini (Universitas Mulawarman) menilai pemidanaan terhadap pengibar bendera One Piece berlebihan. Tanpa adanya niat untuk menghina atau merendahkan bendera negara, tindakan itu tidak memenuhi unsur pidana. Larangan hanya berlaku jika bendera tersebut digunakan untuk menggantikan Merah Putih dalam upacara resmi.
Chairul Huda (Universitas Muhammadiyah Jakarta) memandang fenomena ini sebagai ungkapan perasaan publik di media sosial maupun ruang publik. Menurutnya, tidak ada masalah selama bendera tersebut tidak dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih.
Ekspresi Kreatif sebagai Suara Masyarakat
Bendera One Piece adalah simbol fiksi yang lekat dengan generasi muda. Dalam banyak kasus, ia dikibarkan bukan untuk meremehkan negara, melainkan untuk merayakan fandom, mengekspresikan identitas, atau bahkan menyampaikan pesan simbolik tentang kebebasan dan petualangan.
Di berbagai negara, pengibaran bendera fiksi lazim hadir di festival budaya, konser, atau perayaan komunitas tanpa menimbulkan tafsir subversif. Menganggap semua ekspresi visual non-negara sebagai ancaman justru menempatkan negara dalam posisi defensif berlebihan.
Menghindari Over-Criminalization
Reformasi 1998 membuka ruang bagi kebebasan berekspresi yang lebih luas. Namun, peristiwa seperti ini menunjukkan bahwa over-criminalization, kecenderungan memperluas sanksi pidana terhadap ekspresi sah, masih membayangi. Pembatasan yang tidak proporsional tidak hanya mencederai hak warga, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Penutup: Merah Putih Tetap Utama, Ekspresi Tetap Merdeka
Tidak ada yang menafikan bahwa Merah Putih adalah simbol perjuangan yang harus dihormati. Namun, menjaga kehormatannya tidak berarti mematikan kreativitas masyarakat. Simbol fiksi seperti bendera One Piece seharusnya dilihat sebagai bagian dari keragaman ekspresi, bukan ancaman.
Alih-alih merepresi kebebasan berpendapat melalui razia atau ancaman sanksi, pemerintah seharusnya menelusuri akar keresahan yang membuat sebagian warga memilih mengibarkan bendera One Piece. Respons berlebihan hanya akan menambah jarak antara negara dan rakyatnya. Dalam negara demokratis, kritik dan ekspresi kreatif adalah bagian wajar dari dinamika sosial, bukan bahaya yang harus dibungkam. Aparat sebaiknya memandang fenomena ini sebagai salah satu bentuk kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi, selama tidak merendahkan atau menggantikan kedudukan Merah Putih.
Karena pada akhirnya, kekuatan bendera negara tidak diukur dari seberapa ketat ia dijaga dari kain lain, melainkan dari seberapa dalam ia tertanam di hati rakyatnya.

