Antara Kekeliruan dan Kejahatan: Refleksi atas Vonis Tom Lembong
Blog post description.
7/26/20252 min read


Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) atas kasus impor gula membuka kembali diskusi serius soal batas pemidanaan dalam kebijakan publik. Meski dinyatakan tidak menerima keuntungan pribadi sepeser pun, Tom tetap divonis 4,5 tahun penjara karena dianggap lalai dalam penggunaan wewenang saat menjabat Menteri Perdagangan. Putusan ini menyoroti problem klasik hukum kita: kaburnya garis batas antara kesalahan administratif dan tindak pidana korupsi.
Pertanyaan yang kerap muncul adalah: jika seorang pejabat tidak memperoleh keuntungan pribadi, lalu di mana batas antara kelalaian administratif dan tindak pidana korupsi? Dalam praktik penegakan hukum, terutama menyangkut kebijakan publik seperti impor atau pengadaan, kasus-kasus semacam ini sering berada di persimpangan tiga ranah hukum: administrasi publik, perdata, dan pidana. Di titik inilah biasanya terjadi kerancuan yang paling berisiko, ketika kekeliruan prosedural berpotensi diperlakukan sebagai kejahatan pidana tanpa melihat secara utuh konteks dan niat di balik keputusan tersebut.
Diskresi dan Kriminalisasi
Dalam hukum publik, pejabat punya ruang diskresi, selama prosedural dan akuntabel. Tapi ketika logika hukum pidana yang mensyaratkan adanya niat jahat (mens rea) dipaksakan masuk ke ranah administratif, maka keadilan bisa tergelincir. Jika tidak ada motif menyimpang, tidak ada keuntungan pribadi, namun tetap dijatuhi pidana, kita sedang menghukum tanpa menimbang niat.
Vonis Tom Lembong menjadi contoh. Tidak ada bukti bahwa ia memperkaya diri, tapi tetap dianggap bersalah karena kebijakannya menyebabkan kerugian negara. Jika ini jadi preseden, maka banyak kebijakan ekonomi bisa berujung pidana meski diambil dengan itikad baik. Efeknya? Pejabat akan takut mengambil keputusan. Ini menciptakan chilling effect dalam birokrasi, yang berdampak buruk pada respons pemerintah dalam situasi krisis.
Abuse vs Misuse of Power
Hukum pidana merupakan alat paling tajam dalam sistem hukum, sehingga penggunaannya harus dibatasi hanya untuk kejahatan yang benar-benar dilakukan dengan kesadaran dan tujuan merugikan secara sistematis. Dalam konteks pemberantasan korupsi, kehati-hatian harus ditingkatkan. Unsur-unsur tindak pidana, perbuatan, niat, dan akibat, harus terpenuhi secara menyeluruh. Namun dalam praktiknya, tak jarang pejabat publik dijatuhi hukuman bukan karena mencuri uang negara, melainkan karena mengambil keputusan yang menimbulkan konsekuensi ekonomi. Ini menjadi masalah serius. Pertama, membuka peluang kriminalisasi terhadap keputusan administratif. Kedua, menimbulkan efek jera yang salah arah.
Dalam ranah hukum administrasi, dikenal dua istilah penting: abuse of power dan misuse of power. Keduanya memang bisa menyebabkan kerugian negara, tetapi berbeda secara makna dan akibat hukumnya. Abuse of power merujuk pada penyalahgunaan kekuasaan secara sadar dan dengan niat jahat, pejabat menyadari penyimpangannya dan memang bermaksud menyimpang. Sebaliknya, misuse of power lebih kepada kekeliruan dalam pelaksanaan wewenang atau penyimpangan prosedur yang tidak didorong oleh niat jahat.
Dengan kata lain, hanya abuse yang seharusnya diproses secara pidana. Sementara misuse lebih tepat ditangani melalui mekanisme hukuman administratif. Bila perbedaan ini diabaikan, maka pejabat yang bertindak dengan itikad baik namun melakukan kesalahan prosedural bisa terjerat sebagai pelaku korupsi. Hal ini tentu tidak adil, dan berpotensi menimbulkan ketakutan yang kontraproduktif dalam pengambilan kebijakan publik.
Hukum yang Adil dan Rasional
Hukum pidana harus menjadi ultimum remedium, jalan terakhir. Pelanggaran administratif semestinya diselesaikan lewat mekanisme pembinaan dan koreksi internal. Jika semua kesalahan kebijakan langsung ditarik ke pengadilan Tipikor, maka hukum berubah menjadi alat ketakutan, bukan keadilan.
Negara hukum harus mampu membedakan: tidak semua kesalahan adalah kejahatan dan tidak semua kerugian negara lahir dari niat menyimpang. Hukum pidana harus menjadi ultimum remedium, bukan instrumen pertama dalam menilai setiap pelanggaran kebijakan. Untuk itu, pemisahan yang tegas antara abuse dan misuse of power perlu kembali ditegaskan, baik dalam praktik penegakan hukum maupun dalam kesadaran publik. Kita membutuhkan sistem yang tegas terhadap korupsi, tetapi adil terhadap pejabat yang mengambil keputusan dengan itikad baik. Tanpa itu, hukum akan kehilangan rohnya, dan birokrasi kehilangan keberaniannya.

